MASA DISINTEGRASI
(1000-1250)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan
serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah , bahkan cenderung mencolok. Setiap
khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya . kehidupan mewah
khalifah-khalifah ini ditiruoleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
Kecenderungan bermewah-mewah,ditambah dengan kelemahan khlaifah dan khalifah
dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat miskin.
Kondisi ini member peluang kepada tentara
professional asal turki yang semula diangkat oleh khalifah al-mu’tashim
untuk mengambil alih pemerintah. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaaan
sesungguhnya berada ditangan mereka, sementara
kekuasaaan bani abbaas didalam khilafah Abbbasiyah yang didiraikannya
mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini meskipun setelah
itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
A. DINASTI-DINASTI
YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD
Disintegrasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah di mulai di akhir zaman bani Umayah. Akan tetapi berbicara
tentang politik islam dalam lintasan sejarah, akan terlihahat perbedaan anatara
Pemerintahan BaniUmayah dengan Pemerintahan Bani Abas. Wilayahkekuasaan Bani Umayah,
mulai dari awal berdirinya samoai masa keruntuhannya, sejajar dengan
batas-batas kekuasaan islam. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah di akui di
Spanyol dan afrika utara kecuali mesir yang bersifat sebentar-bentar dan
kebanyakan bersifat nominal, yang hubungannya dengan khalifah ditandai dengan
pembayaran upeti..
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik
itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: Pertama,
seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko.
Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan
Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar
upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi
pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah
memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja
menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha
menguasai khaljfah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan
kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini
mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan
militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional
di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru
seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam
perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan
khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah
muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah
(kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi
terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya,
para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan
aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi
kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka
yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti
yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah, diantaranya adalah:
1.
|
Yang berbangsa Persia:
|
||
a.
|
Thahiriyyah di Khurasan, (205-259
H/820-872 M).
|
||
b.
|
Shafariyah di Fars, (254-290
H/868-901 M).
|
||
c.
|
Samaniyah di Transoxania, (261-389
H/873-998 M).
|
||
d.
|
Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318
H/878-930 M).
|
||
e.
|
Buwaihiyyah, bahkan menguasai
Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
|
||
2.
|
Yang berbangsa Turki:
|
||
a.
|
Thuluniyah di Mesir, (254-292
H/837-903 M).
|
||
b.
|
Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560
H/932-1163 M).
|
||
c.
|
Ghaznawiyah di Afghanistan,
(351-585 H/962-1189 M).
|
||
d.
|
Dinasti Seljuk dan
cabang-cabangnya:
|
||
1.
|
Seljuk besar, atau seljuk Agung,
didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn
Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun
(429-522H/1037-1127 M).
|
||
2.
|
Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583
H/1040-1187 M).
|
||
3.
|
Seljuk Syriaatau Syam di
Syria,(487-511 H/1094-1117 M).
|
||
4.
|
Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan,
(511-590 H/1117-1194 M).
|
||
5.
|
Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia
Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).
|
||
3.
|
Yang berbangsa Kurdi:
|
||
a.
|
al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015
M).
|
||
b.
|
Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M).
|
||
c.
|
Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
|
||
4.
|
Yang berbangsa Arab:
|
||
a.
|
Idrisiyyah di Marokko, (172-375
H/788-985 M).
|
||
b.
|
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289
H/800-900 M).
|
||
c.
|
Dulafiyah di Kurdistan, (210-285
H/825-898 M).
|
||
d.
|
Alawiyah di Tabaristan, (250-316
H/864-928 M).
|
||
e.
|
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil,
(317-394 H/929- 1002 M).
|
||
f.
|
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545
H/1011-1150 M).
|
||
g.
|
Ukailiyyah di Maushil, (386-489
H/996-1 095 M).
|
||
h.
|
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472
H/1023-1079 M).
|
||
5.
|
Yang mengaku dirinya sebagai
khilafah:
|
||
a.
|
Umawiyah di Spanyol
|
||
b.
|
Fathimiyah di Mesir.
|
Dari latar
belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa,
terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti
itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah,
ada yang Sunni.
1. Luas wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah
sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit di lakukan bersamaan dengan itu,
tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
2. Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuntungan negara sangat sulit karena biaya
yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer
menurun, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
B. PEREBUTAN KEKUASAAAN DI PUSAT
PEMERINTAHAN
Faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani
Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan
tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat
maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti
kecil yang merdeka.
Faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam
berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung aman dan
damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi
tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi
pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani
Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus
berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai
pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan
semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan,
Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan
darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman
yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad
Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang
banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi
khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar
memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan
posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah,
gubemur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah
berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya
sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan
yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi
khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi
pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan
sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin
oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas
yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan
terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti
terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya,
tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada
hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap
dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan
kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki
berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka
yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan
khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode
ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari
tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah
Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga
bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak
mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn
Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali
memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar
al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur
al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al- Karaj
itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil
menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat
pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz
itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan
daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah,
al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil
mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan
Wasith.
Dari
sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat
perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para
pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di
Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada
tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung
diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz
al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan
pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang
memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn
al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki
sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan
Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja.
Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih.
Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani
Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama
masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah
dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
Setelah
Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke
Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama
Daral-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada
di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan
militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri
dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah,
dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Sebagaimana para
khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan
perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan
ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu
al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih
juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah
sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan
laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama
permadani.
Kekuatan
politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga
bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak
mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya,
pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad
al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amIr al-umara.
Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu
faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara
golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara
dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala
jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke
permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
Sejalan
dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula
gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya
serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan
dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan
Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan
dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
Jatuhnya
kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam
negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu
dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang
ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal
Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang
khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong
khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang
berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan
Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang
terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan
bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan
awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa
kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga,
dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan.
Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq.
Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq
mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut
Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk
sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud
menyingkirkan Seljuk.
Namun
sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap
melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah
land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah
Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami
daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut.
Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan
oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil
menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah
Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil
dan kemudian penggantinya Mikail, saudaranya dapat ditangkap oleh penguasa
Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin
Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti
Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah
Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya
dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari
khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti
Seljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul
berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah,
Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.
Posisi
dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama
"dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun
ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan
kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang
sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali
mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan
Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang
dianut mereka.
Sepeninggal
Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp
Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487
H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103
M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris
Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama
al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada
beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan
terdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yang sudah dimulai oleh
Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia
Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa
yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil
mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz,
al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun
1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian
(turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman
ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada
tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya
Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti
Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada
masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang
dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem.
Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
- Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
- Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
- Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
- Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
- Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.
Disamping
membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau
Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang
sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa
departemen.
Pada
masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami
kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana menterinya
Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas
Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di
Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti,
Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi
di kemudian hari.
Perhatian
pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan
muslim pada masanya. Diantara mereka adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir,
bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali
dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang
sastra.
Setelah
Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai
mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara
anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat.
Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri.
Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat
Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit
kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan
dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199
M.
C. PERANG
SALIB
Peristiwa penting dalam generasi
ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464
H ( 1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 orang prajurit,
berhasil mengalahkan Romawi yang berjumlah 200.000 orang. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian terhadap umat Islam, yang kemudian
mencetuskan perang salib. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada
umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perng ini kemudian dikenal
dengan nama perang salib. Yang terjadi dalam 3 periode.
1. PERIODE
PERTAMA (1095-1477 M)
Perang salib ini semula digerakkan
oleh seorang pedeta Peter dari Perancis. Kemudian didukung oleh Paus di
Vatikan, oleh raja vatikan di Eropa dan oleh kepala orthodox yang berkedudukan
di Konstantinopel. Pada tanggal 26 nopember 1095 Paus Urbanus II mengadakan
pidato menggema di seluiruh Eropa, di segala Negara Kristen, mempersiapkan
tentara yang lengkap bersenjata untuk pergi berperang merebut Palestina.
Ketika tentara salib menduduki palestina terjadilah pembunuhan massal dan penyembelihan secara besar-besaran. Kepala, tangan dan kaki manusia yang mati terbunuh berserakan di sepanjang jalan di kota suci itu. Pada tahun 521 H/1127 M muncul seorang pahlawan Islam termasyhur Imaduddin Zanki, gubernur dari Mousul dapat mengalahakan tentara salib di kota Aleppo dan Humah. Kemenangan itu merupakan yang pertama kali yang disusul dengan kemenangan selanjutnya sehingga tentara salib merasakan pahitnya kekalahan
Ketika tentara salib menduduki palestina terjadilah pembunuhan massal dan penyembelihan secara besar-besaran. Kepala, tangan dan kaki manusia yang mati terbunuh berserakan di sepanjang jalan di kota suci itu. Pada tahun 521 H/1127 M muncul seorang pahlawan Islam termasyhur Imaduddin Zanki, gubernur dari Mousul dapat mengalahakan tentara salib di kota Aleppo dan Humah. Kemenangan itu merupakan yang pertama kali yang disusul dengan kemenangan selanjutnya sehingga tentara salib merasakan pahitnya kekalahan
2. PERIODE KEDUA
Imaduddin, penguasa Moshul dan Irak,
berhasil menaklukkan Aleppo, Hamimah, dan Endessa pada tahun 1144M. Kejatuhan
Endesso ini menyebapkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib Kedua.
Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja
Perancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin Pasukan Salib
untuk merebut wilayah Kristen di Syiria.
Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki.Mereka tidsk
berhasil memasuki damaskus. LouisVI dan Condrad II sendiri melarikan diri
pulang kenegrinya
3. PERIODE KETIGA
Tentara
salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Yang berusaha
merebut mesir lebi dahulu dari pada palestina, dengan harapan dapat bantuan
dari orang-orang Kristen qibthi. Pada tahun 1210 M, mereka berhasil mendudukki
dimyat. Raja mesir dari Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil melepaskan
palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslim disana dan Frederick tidak
mengirim bantuan kepada Kristen di sriya, dalm perkembangan berikutnya
palestinah dapat direbut kembali oleh kaum muslima tahun 1247, di masa
pemerintahan al-malik al-Shalih, penguasa mesir selanjutnya.
D. SEBAB-SEBAB
KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS
Faktor yang menyebabkan khlifah Abbasiyah manjadi
mundur yaitu sebagai berikut :
1. Persaingan
antar bangsa
Khalifa Abbasiyah didirikan ole bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan di latar belakangi persamaan
nasib kedua golongan itu pada masa Bani Ummayyah berkuasa. Setelah khalifa
abbasiyah berdiri, dinasti bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Stryzewaska, ada 2 sebab dinasti bani Abbas memilih orang-orang Persia
dari orang-orang Arab. Yang pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk
melupakan Bani Ummayah. Dan yang kedua orang-orang Arab sendiri terpecah bela
dengan adanya Aya’ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifa Abbasiyah tidak
ditegakkan diatas ashabiyah tradisional.
Selain itu, wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama sanagt luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir, Sriya, Irak, Turki, dan India. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi karena para khalifah adalah orang-orang
yang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat
terjaga.
2. Kemerosotan
Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidan politik. Pada
preiode pertama, pemerintah bani Abbas merupakan pemerintah yang kaya. Setelah Khalifah
mengalami kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat
lebih besar. Hal ini disebkan karena
makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
bnayak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperinganya
pajak, dan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak disebabkan kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah , jenis pengeluaran makin mewah dan pejabat
melakukan korupsi.
3. Konflik
keagamaan
Berkenaaan dengan konflik keagamaan
itu, syed Amerr Ali menyatakan :
“Agama
Muhammad SAW seperti jga agama Isa as, terkepin-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soa-soal abstarak yang
tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir,
selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit
dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan
pengetahuan manusia...Soal kehendak bebas manusia… pendapat bahwa rakyat dan
kepala Agama mustahil berbuat salah… menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa
berharga.”
4. Ancaman
dari luar
Apa yang disebutkan diatas adalah
factor-faktor internal. Disamping itu ada factor ekstenal yang menyebabkan
khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur:
1.
Perang salib yang berlangsung beberapa golongan
atau periode dan menelan banyak korban.
2. Serangan
tentara mongol kewilayah kekuasaan islam.
0 comments:
Post a Comment